Sabtu, 28 Agustus 2010


Pertanyaan : Sering kita mendengar, banyak kaum muslimin yang mengucapkan selamat dengan datangnya bulan Ramadhan. Misalnya mengucapkan “Ramadhan Mubarak.” Apakah perbuatan ini boleh dalam syari’at?

Pertanyaan ini telah dijawab oleh dua ‘ulama besar masa ini.

1. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah :

Ramadhan merupakan bulan yang agung. Bulan penuh barakah yang kaum muslimin bergembira dengannya. Dan dulul Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahahbatnya Radhiyallah ‘anhum bergembira dengan datangnya Ramadhan. Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga memberikan kabar gembiri kepada para shahabatnya tentang datangnya Ramadhan.

Apabila kaum muslimin bergembira dengan datangnya Ramadhan, dan memberikan kabar gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, satu sama lain saling mengucapkan selamat dengan datangnya Ramadhan, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana hal ini juga biasa dilakuka oleh para salafush shalih.

Karena memang bulan ini adalah bulan yang agung, penuh barakah, dan muslimin gembira dengannya, sebab bulan ini bulan penghapusan kesalahan, pemaafan dosa, dan bulan untuk berlomba dalam kebaikan dan amal shalih.

Sumber : [1] http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=361048

2. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah :

Mengucapkan selamat datangnya bulan Ramadhan tidak mengapa. Karena dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan berita gembira kepada para shahabatnya akan datangnya bulan Ramadhan, memberikan semangat kepada mereka untuk memperbanyak amal shalih padanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

( قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ )

Katakanlah dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya maka dengan itu bergembiralah kalian. (Yunus: 58)

Jadi ucapan selamat dan kegembiraan dengan datangnya bulan Ramadhan menunjukkan semangat yang besar terhadap kebaikan. Dulu para salafush shalih juga biasa mengucapkan selamat satu sama lain dengan datangnya bulan Ramadhan dalam rangka mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagaimana dalam hadits dari shahabat Salman dalam kisah yang panjang, di dalamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

« ‏أيها الناس‏‏ قد أظلكم شهر عظيم مبارك … »

Wahai umat manusia, telah datang kepada kalian bulan agung yang penuh barakah …

Adab-Adab Puasa

Bagi orang yang berpuasa terdapat beberapa adab yang selayaknya dia jalankan, agar tercapai keselarasan dengan perintah-perintah syari’at dan terealisasi maksud pelaksanaan ibadah tersebut, di samping sebagai latihan bagi jiwa dan pembersihannya. Maka sudah seharusnya seorang yang menjalankan ibadah puasa untuk berupaya serius dalam merealisasikan adab puasa secara sempurna, senantiasa menjaganya dengan baik, karena kesempurnaan ibadah puasanya sangat tergantung dengannya, dan kebahagiaannya sangat terkait dengannya.

Di antara adab-adab syar’i yang harus dijaga oleh seorang yang sedang berpuasa adalah:

Pertama, Menyambut bulan Ramadhan dengan bangga, gembira, dan bahagia. Karena bulan Ramadhan termasuk karunia Allah dan rahmat-Nya kepada umat manusia. Allah Ta’ala berfirman :

( قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ )

Katakanlah dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya maka dengan itu bergembiralah kalian. (Yunus: 58)

Yaitu dalam bentuk : dengan memuji Allah yang telah menyampaikannya kepada bulan Ramadhan, Meminta pertolongan kepada Allah agar Dia membantunya dalam pelaksanaan ibadah puasa, dan mempersembahkan amal-amal shalih dalam bulan Ramadhan. Sebagaimana pula disunnah baginya untuk berdo’a ketika setiap kali melihat hilal untuk bulan apapun dalam satu tahun. Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma, berkata : “Dulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat Al-Hilal beliau mengucapkan doa :

اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ

“Allahu Akbar, Ya Allah terbitkanlah al-hilal kepada kami dengan keamanan dan iman, dengan keselamatan dan Islam, dan taufiq kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau Ridhai. Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.”

Dengan catatan, tidak boleh sengaja menghadap ke arah hilal ketika membaca doa tersebut, atau mengangkat kepalanya ke arah hilal, atau menunjuk kepada hilal. Namun dalam berdoa menghadap ke arah yang kita menghadap ke arah tersebut ketika shalat.

(lihat juga : [1] Doa Ketika Melihat Hilal)

Kedua, Termasuk adab penting adalah seorang muslim tidak memulai pelaksanaan puasa Ramadhannya kecuali berdasarkan ru`yatul hilal dan tidaklah mengakhiri puasa Ramadhannya kecuali berdasarkan ru`yatul hilal. Di samping dalam pelaksanaannya dia selalu bersama dengan pemerintah muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memerintahkan :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hila, dan ber’idul fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari. Muttafaqun ‘alaihi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga melarang melaksanakannya kecuali berdasarkan ru`yatul hilal :

لا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه، فإن أغمي عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

Janganlah kalian melaksanakan shaum sampai kalian berhasil melakukan ru`yatul hilal, dan janganlah kalian ber’idul fithri sampai kalian berhasil melakukan ru`yatul hilal. Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari.

Muttafaqun ‘alaihi

Ketiga, senantiasa melaksanakan makan sahur, karena barakah yang ada padanya. Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur hingga dekat dengan waktu fajr.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِِ بَرَكَةً

Makan sahurlah kalian, karena pada makanan sahur itu terdapat barakah. [2] [1] (Muttafaqun ‘alaihi)

Tentang keutamaan dan barakah padanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :

البَرَكَةُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الجَمَاعَةِ وَالثَّرِيدِ وَالسَّحُورِ

Barakah itu terdapat pada tiga hal : Al-Jama’ah, Tsarid, dan makan sahur.

(Ath-Thabarani. Lihat Ash-Shahihah no.1045)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga memberitakan :

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى المُتَسَحِّرِين

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya menyampaikan shalawat [3] [2]) kepada orang-orang yang melakukan makan sahur.

(HR. Ath-Thabarani dan Ibnu Hibban. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjadikan makan sahur sebagai pembeda antara puasanya kaum muslimin dengan puasanya ahlul kitab. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

Pembeda antara puasa kita – kaum muslimin – dengan puasanya ahlul kitab adalah makan sahur (Muslim)

Yang afdhal (lebih utama) adalah bersahur dengan tamr (kurma). Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

نِعْمَ سَحُورِ المُؤْمِنِ التَّمْرُ

Sebagus-bagus makanan sahurnya seorang mukmin adalah tamr (kurma)

HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban. Lihat Ash-Shahihah no. 562.

Kalau ia kesulitan mendapatkan tamr (kurma), maka makan sahur masih bisa terlaksana dengan makanan-makanan lain, bahkan walaupun hanya dengan seteguk air. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ

Bersahurlah kalian walaupun dengan seteguk air.

(Ibnu Hibban. Lihat Shahih At-Targhib)

Waktu sahur dimulai sejak waktu dekat-dekat fajar dan berakhir ketika telah jelas antara benang putih dengan benang hitam, yakni apabila telah terbit fajar.

Disunnahkan untuk mengakhirkan pelaksanaan makan sahur, yakni hingga waktu sangat dekat dengan waktu fajar/shubuh. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعَجيِلِ فِطْرِنَا وَتَأْخِيرِ َسُحُورِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِي الصَّلاَةِ

Sesungguhnya kami segenap para nabi, kami diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, serta agar kami meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami ketika shalat.

(Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah IV/376)

Di antara perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah beliau mengakhirkannya hingga antara waktu selesai makan dengan waktu shubuh sejarak bacaan 50 ayat dari surat yang sedang. Shahabat Anas bin Malik meriwayatkan dari shahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallah ‘anhu :

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحور؟ قَالَ: قَدْرَ خَمْسِينَ آيَةً

“Kami bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian kami berdiri menunaikan shalat.” Maka saya (Anas) bertanya : berapa jarak antara adzan dengan selesainya sahur? Zaid menjawab : “sejarak bacaan 50 ayat”

(Muttafaqun ‘alahih)

Termasuk tradisi para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah mengakhirkan makan sahur. Dari ‘Amr bin Maimun Al-Audi rahimahullah berkata :

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاس إفْطَارًا وَأَبْطأَهُمْ سحورًا

“Dulu para shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang paling bersegera melaksanakan buka puasa, dan paling akhir dalam melaksanakan makan sahur.”

(Abdurrazzaq, Al-Baihaqi. Al-Hafizh menyatakan sanad riwayat ini shahih)

(diterjemahkan dari mizah syahri Ramadhan wa fadha`ilish shiyam wa fawa`idihi wa adabihi, Asy-Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus. Diterjemahkan oleh Abu ‘Amr Ahmad – dengan ada perubahan dan penambahan. Sumber [4]

[5] [1] Diantara barakah yang dikandung pada makan sahur adalah:

1. Ittiba’ As-Sunnah (mengikuti jejak sunnah Rasulullah r),

2. Membedakan diri dengan Ahlul Kitab,

3. Memperkuat diri dalam ibadah,

4. Mencegah timbulnya akhlak yang jelek seperti marah dan lainnya dikarenakan rasa lapar,

5. Membantu seseorang untuk bangun malam dalam rangka berdzikir, berdo’a serta shalat di waktu yang mustajab,

6. Membantu seseorang untuk niat shaum bagi yang lupa berniat sebelum tidur.

Disimpulkan oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id bahwa barokah-barokah tersebut ada yang bersifat kebaikan duniawi dan ada yang bersifat kebaikan ukhrawi (lihat Fathul Bari penjelasan hadits no. 1923).

[6] [2] Makna shalawat Allah kepada hamba-Nya adalah Allah menyebut-nyebut si hamba tersebut di hadapan para malaikat-Nya. Sedangkan makna shalawat para malaikat adalah do’a kebaikan para malaikat tersebut untuk si hamba tersebut.

0 comments:

Posting Komentar

Komen disini ya