Salah satu diantara
persiapan-persiapan dalam penyambutan Ramadhan yang utama adalah memanfaatkan
bulan sya’ban dengan sebaik-baiknya.
Sya’ban adalah
bulan ke-8 dalam Hijriah, terletak antara 2 bulan yang dimuliakan yakni Rajab
& Ramadhan.
Beberapa hadits tentang sya’ban:
Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah
saw.: “Wahai Rasulullah, aku
tidak pernah melihatmu memperbanyak berpuasa (selain Ramadhan) kecuali
pada bulan Sya'ban? Rasulullah saw. menjawab: "Itu bulan dimana manusia
banyak melupakannya, yaitu antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan itu segala
perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika
amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa". (HR. Abu Dawud dan
Nasa'i).
Dalam Riwayat Imam
Bukhari dan Muslim, Sayyidatina Aisyah r.a. berkata: “Aku belum pernah
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyempurnakan shaum selama
satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat
beliau memperbanyak shaum dalam satu bulan kecuali pada bulan Sya’ban.”
(HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956).
Jika kita mengambil ibroh dari riwayat-riwayat
diatas, dapat kita simpulkan bahwa berpuasa di bulan Sya‘ban adalah utama,
karena:
1. Sya‘ban ialah bulan yang disepelekan, bulan dimana manusia banyak melupakannya dan tidak mengambil manfaat darinya,maka beramal & menghidupkan syi’ar di saat manusia lain lalai merupakan suatu keutamaan, mungkin bisa kita analogikan sebagaimana mulianya kita untuk berdiri qiyamul lail di akhir malam sedangkan kebanyakan manusia asyik dengan kasur dan selimutnya.
2.
Amal-’amal manusia (secara tahunan) sedang diangkat ke hadapan Allah SWT pada
bulan sya’ban, sedangkan amalan-amalan mingguan diangkat pada hari senin kamis,
makanya senin kamis juga disunnahkan berpuasa.
3. Penyambutan & pengagungan terhadap datangnya bulan Ramadan, karena kebanyakan ibadah-ibadah utama dan mulia, umumnya didahului oleh pembuka yang mengawalinya; Haji diawali persiapan Ihram di Miqat, Shalat juga diawali dengan bersuci, berwudhu’, dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat, maka puasa di bulan sya’ban juga merupakan persiapan dalam menyambut bulan Ramadhan, dengan berpuasa di bulan sya’ban tubuh akan terbiasa dalam keadaan berpuasa jadi ketika ramadhan tiba kita telah siap untuk mengisinya dengan amalan-amalan dengan optimal, karena kecenderungan kalau kita tidak membiasakan diri untuk berpuasa sebelumnya, beberapa hari di awal bulan Ramadhan tubuh kita akan beradaptasi dulu sehingga tidak maksimal dalam memanfaatkannya untuk beribadah.
Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mencantumkan pendapat bahwa puasa Sya‘ban seumpama sunnah Rawatib (pengiring) bagi puasa Ramadhan. Untuk shalat ada rawatib qabliyah & ba’diyah. Untuk Ramadhan, qabliyahnya; puasa Sya‘ban & ba’diyahnya; puasa 6 hari di bulan Syawal.
Disamping
menganjurkan berpuasa di bulan Sya’ban, Rasulullah saw. juga melarang umatnya
berpuasa jika hal tersebut dilakukan sehari atau dua hari sebelum bulan sya’ban
berakhir. Sebagaimana sabda saw. : “Janganlah kalian mendahului
Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang
terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082
dari Abu Hurairah).
Satu
atau dua hari terakhir sya’ban itu disebut dengan istilah Yaumus Syakk(hari
keraguan) dan rasul melarang orang yang mengkhususkan berpuasa di Yaumus Syakk
ini, tapi bagi orang yang memang terbiasa berpuasa maka tidak ada larangan
baginya untuk berpuasa di hari itu.
Orang
terbiasa berpuasa yang dimaksudkan disini misalnya: orang yang sudah biasa
mengerjakan puasa senin kamis, dan kebetulan Yaumus Syakk ini jatuh pada hari
senin atau kamis, maka orang yang seperti ini dibolehkan untuk puasa, ini juga
mencakup puasa-puasa sunnah yang lain.
Terkait
dengan orang-orang yang memang harus berpuasa pada Yaumus Syakk, seperti
orang-orang yang bernazar atau ada hutang puasa yang belum dibayar, maka tidak
mengapa bagi mereka untuk berpuasa pada Yaumus Syakk, bahkan dalam suatu hadits
Aisyah berkata:
“Aku punya hutang puasa Ramadan, aku tak dapat
mengqadhanya kecuali di bulan Sya‘ban, karena sibuk melayani Nabi”. (HR Al
Bukhari-Muslim)
Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim & Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa dari hadits ‘Aisyah ini dapat disimpulkan bahwa jika ada ‘udzur, maka qadha’ puasa boleh diakhirkan sampai bulan Sya‘ban. Tetapi kalau tanpa adanya ‘udzur, menyegerakannya di bulan Syawal dan seterusnya lebih utama.
Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim & Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa dari hadits ‘Aisyah ini dapat disimpulkan bahwa jika ada ‘udzur, maka qadha’ puasa boleh diakhirkan sampai bulan Sya‘ban. Tetapi kalau tanpa adanya ‘udzur, menyegerakannya di bulan Syawal dan seterusnya lebih utama.
Wallahu
a’lam bis shawab.